Senin, 18 Oktober 2010

mbakku sayang, mbakku malang..


Si mbak mendekati saya yang sedang duduk santai depan tv, Mbak saya ini datang sebelum saya berangkat kerja, setelah beres-beres dia melanjutkan cuci gosok di rumah yang lain dan setelah itu kembali ke rumah saya sampai saya pulang kerja.
Mbak (M), Saya (S).
M: Bu, saya mu pinjam uang satu juta, nanti 2 bulan saya tidak usah digaji.
S: Buat apa mba? Mba lagi ada masalah apa?
M: itu bu, saya mau bantu anak suami saya (anak tirinya) mau sunat bulan depan, saya juga sudah minjam satu juta ke majikan yang satu lagi dan sudah dikasih.
S: mahal juga ya biaya sunat di kampung.
M: sunatnya si murah Bu, tapi suami saya mau panggil campursari jadi acaranya mau diramein Bu, tadinya saya disuruh nyumbang lima juta sama mertua saya, tapi saya mana punya uang bu, ini saja saya sudah utang kiri kanan, ke majikan yang satunya satu juta, ke Ibu satu juta ke adik saya satu juta.
S: lah trus mbak nanti buat Makan, beli susu Anggun (anaknya umur 2, 5 tahun yang tidak mau makan sama sekali hanya mau minum susu dan es saja) pake apa?
M: itu sih kata suami tanggung jawab dia.
S: suami mbak sekarang kerja?
M: ya enggak bu, tapi nanti kalau pulang dari kampung mau cari kerja.
S: trus kalau tidak dapat kerjaan mbak mau makan apa?
M: saya juga nggak tau Bu.
S: mbak.. itu sih namanya mbak jerat leher sendiri, mencari-cari penyakit, kalau nggak punya uang ngapain maksa, bilang saja sama ibu mertua nggak punya uang. Kalau mau sunat ya seadanya saja nggak usah maksa gitu.
M: ya mau bagaimana lagi bu, saya juga nggak enak kan itu anak tiri saya.
S: Mbak begini ya, saya kasih mbak setengah saja, mbak terserah deh mau bayar kapan saja atau mau nyicil gimana, tapi tiap bulan mbak tetap dapat gaji dari saya.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya si mbak minjam uang, sudah beberapa kali selalu saya kasih dan ujung-ujungnya pun selalu saya putihin alias nggak usah bayar, tapi saya pikir-pikir kalau begini terus saya tidak mangajari dia, lama-lama dia terbiasa mengutang tanpa usaha untuk membayar padahal untuk hal-hal yang tidak seharusnya. Saya juga sudah beberapa kali mengajarnya belajar menabung untuk pendidikan anaknya kelak, walaupun seribu dua ribu pasti bermanfaat kata saya, jawab mbak: " Kemarin sudah mau nabung bu, tapi anak saya yang satu (umur 6 tahun) minta dibeliin HP saya beliin aja"

Saya merenung, bukan Cuma si mbak, beberapa teman yang saya kenal rela berutang kiri kanan demi pesta pernikahan yang wah setelah itu mereka tinggal dirumah kontrakan dan bekerja keras untuk membayar utang-utangnya. Kenapa nggak nikah sederhana saja sih sesuai kemampuan. Kenapa harus mengutamakan gengsi kalau setelah itu malah tersiksa sendiri.

Itulah kenapa sampai saat ini saya tidak tertarik untuk memiliki kartu kredit, begitu juga ketika saya ingin belanja sesuatu selalu diawali dengan Ingin atau butuh, kalau butuh ayo kalau Cuma ingin ya nanti dulu, kalau memang ada budget lebih ya nggak masalah sekali-kali tapi kalau memang nggak ada budget ya lang bilang tidak aja.

Cara orang menikmati hidup memang bermacam-macam dan motivasi yang paling aneh yang pernah saya dengar dari tetangga saya, katanya suaminya kalau nggak ada utang nggak semangat kerja, itulah sebabnya mereka sekarang utangnya 6 kali lipat dari total harta yang mereka miliki sekarang.

Tidak ada komentar: